: Jakarta- Pengamat properti dari Indonesia Properti Watch (IPW) Ali Tranghanda menegaskan bahwa rencana pengetatan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk rumah kedua oleh Bank Indonesia hanya akan berdampak negatif pada sisi supply dan demand pasar perumahan. Ali menilai, pemberlakuan aturan tersebut untuk rumah yang telah jadi atau terbangun akan menyulitkan pengembang memasok rumah yang ada.
"Sebaiknya Bank Indonesia bisa lebih memahami kondisi lapangan pasar perumahan, karena 20 persen sampai 30 persen modal pengembang membangun rumah itu dari uang muka konsumen," ujar Ali dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (20/9/2013).
Ali mengatakan, hal tersebut terjadi karena saat ini pengembang masih harus berhadapan dengan biaya tinggi dalam perencanaan, termasuk di dalamnya biaya-biaya perizinan yang harus dikeluarkan. Tak hanya itu. Pengembang juga dihadapkan pada masalah "uang-uang siluman" yang menyebabkan pembiayaan semakin tinggi.
"Dalam sistem pasar seperti saat ini, aturan Bank Indonesia akan tidak efektif, malah akan membuat bisnis perumahan lebih terpuruk," katanya.
Ali menambahkan, hal lain perlu disikapi saat ini adalah kategori konsumen yang membeli rumah kedua tidak bisa secara otomatis dikaitkan dengan segmen menengah atas. Menurutnya, masyarakat jangan terjebak oleh paradigma yang seakan-akan memusuhi segmen menengah atas dengan alasan meredam aksi spekulasi.
"Naiknya masyarakat segmen menengah untuk membeli rumah kedua pun seharusnya disikapi dengan baik, karena itu bukti peningkatan ekonomi masyarakat. Dengan adanya aturan ini dikhawatirkan menurunkan daya beli masyarakat menengah yang sedang tumbuh dan membuat mengganggu pasokan pasar perumahan di segmen menengah," ujar Ali.
Tergesa-gesa
Tak ubahnya penetapan aturan Loan to Value untuk tipe bangun 70 m2, Ali juga berharap Bank Indonesia tidak terlalu cepat membuat aturan dengan tergesa-gesa tanpa memahami struktur pasar perumahan itu sendiri. Batasan luasan merupakan aturan yang justeru seharusnya dihindari.
"Karena dengan tipe rumah yang sama belum tentu memiliki harga rumah yang sama di setiap wilayah. Akan lebih baik bila aturan mengacu pada pembatasan harga rumah, termasuk untuk aturan yang membatasi KPR.
Ali berharap, dengan adanya batasan harga itu aksi spekulasi properti segmen menengah atas dapat diredam lebih baik untuk mengontrol harga rumah. Namun demikian, dia mengingatkan, pengendalian harga rumah tidak bisa hanya dengan aturan LTV dan KPR untuk rumah kedua yang menyasar segmen menengah atas.
"Kontrol harga tanah juga harus dilakukan pemerintah. Ini terkait bank tanah yang seharusnya pemerintah sudah sadar untuk segera merealisasikannya sebagai tanah milik pemerintah yang terlepas dari mekanisme pasar komersial. Dengan begitu, pemerintah dapat mematok harga tanah yang nantinya akan dibangun rumah segmen menengah atas," ujarnya.
Nantinya, kata Ali, bank tanah dapat mengendalikan harga tanah di segmen menengah bawah. Dengan demikian, pengendalian harga tanah akan lebih efektif di semua segmen pasar. http://www.rumahselerakita.com/
Ilustrasi.
"Sebaiknya Bank Indonesia bisa lebih memahami kondisi lapangan pasar perumahan, karena 20 persen sampai 30 persen modal pengembang membangun rumah itu dari uang muka konsumen," ujar Ali dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (20/9/2013).
Ali mengatakan, hal tersebut terjadi karena saat ini pengembang masih harus berhadapan dengan biaya tinggi dalam perencanaan, termasuk di dalamnya biaya-biaya perizinan yang harus dikeluarkan. Tak hanya itu. Pengembang juga dihadapkan pada masalah "uang-uang siluman" yang menyebabkan pembiayaan semakin tinggi.
"Dalam sistem pasar seperti saat ini, aturan Bank Indonesia akan tidak efektif, malah akan membuat bisnis perumahan lebih terpuruk," katanya.
Ali menambahkan, hal lain perlu disikapi saat ini adalah kategori konsumen yang membeli rumah kedua tidak bisa secara otomatis dikaitkan dengan segmen menengah atas. Menurutnya, masyarakat jangan terjebak oleh paradigma yang seakan-akan memusuhi segmen menengah atas dengan alasan meredam aksi spekulasi.
"Naiknya masyarakat segmen menengah untuk membeli rumah kedua pun seharusnya disikapi dengan baik, karena itu bukti peningkatan ekonomi masyarakat. Dengan adanya aturan ini dikhawatirkan menurunkan daya beli masyarakat menengah yang sedang tumbuh dan membuat mengganggu pasokan pasar perumahan di segmen menengah," ujar Ali.
Tergesa-gesa
Tak ubahnya penetapan aturan Loan to Value untuk tipe bangun 70 m2, Ali juga berharap Bank Indonesia tidak terlalu cepat membuat aturan dengan tergesa-gesa tanpa memahami struktur pasar perumahan itu sendiri. Batasan luasan merupakan aturan yang justeru seharusnya dihindari.
"Karena dengan tipe rumah yang sama belum tentu memiliki harga rumah yang sama di setiap wilayah. Akan lebih baik bila aturan mengacu pada pembatasan harga rumah, termasuk untuk aturan yang membatasi KPR.
Ali berharap, dengan adanya batasan harga itu aksi spekulasi properti segmen menengah atas dapat diredam lebih baik untuk mengontrol harga rumah. Namun demikian, dia mengingatkan, pengendalian harga rumah tidak bisa hanya dengan aturan LTV dan KPR untuk rumah kedua yang menyasar segmen menengah atas.
"Kontrol harga tanah juga harus dilakukan pemerintah. Ini terkait bank tanah yang seharusnya pemerintah sudah sadar untuk segera merealisasikannya sebagai tanah milik pemerintah yang terlepas dari mekanisme pasar komersial. Dengan begitu, pemerintah dapat mematok harga tanah yang nantinya akan dibangun rumah segmen menengah atas," ujarnya.
Nantinya, kata Ali, bank tanah dapat mengendalikan harga tanah di segmen menengah bawah. Dengan demikian, pengendalian harga tanah akan lebih efektif di semua segmen pasar. http://www.rumahselerakita.com/
0 komentar:
Posting Komentar